GALERY PONDOK SUFI





Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

BERITA YANG HARUS MENYADARKAN KITA MAKIN MERAPATKAN BARISAN.


Berita yang saya peroleh ini dari ratunya lelembut sak jagad yang sebenarnya mereka sudah tidak sabar lagi untuk mengambili bagiannya. Isi berita itu adalah bahwa mereka akan benar-benar mulai mengambili bagiannya dimulai dari tahun 2008 s/d 2012. Apabila hal ini nyata, maka SUNNATU AL AWWALIN, sunnah Allah sebagaimana yang diberlakukan kepada umat-umat terdahulu yang menghancurkan mereka dengan azab berupa berbagai bencana alam yang hebat dan dahsyatnya luar biasa akan segera diwujudkan oleh Allah. Mereka yang dihancurkan dengan azab Allah inilah yang kemudian oleh tentara iblis (lelembut sak jagad) di aku sebagai bagiannya.

Merapatkan barisan dengan cara yang disukai oleh Allah sebagaimana firman-Nya QS. Ash Shaaf [61] ayat 4: Innallaaha yuhibbulladziina yuqatiluuna fi sabilihi shaffan ka annahum bunyaanun marshush. Yakni bersungguh-sungguh memerangi nafsu dan watak akunya agar patuh dan tunduk dijadikan tunggangannya hatinurani roh dan rasa berjalan di jalan Allah (= melaksanakan Dawuh Guru mengumpulkan bagusnya kewajiban syareat dan hakekat [shirathal mustaqim]) dalam barisan yang teratur bagaikan suatu bangunan yang tersusun kokoh (= kompak dan seia sekata dalam memenuhi sumpah dan janji). Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MERASAKAN INDAHNYA BERTEMU DENGAN ALLAH


Yang pasti ditambah dan terus ditambah indahnya merasakan iman yang ma’rifatun wa tashdiqun. Ditambah nikmatnya bersungguh-sungguh dalam ibadahnya kepada Allah dengan benar dan ikhlas. Ditambah senang dan relanya mengorbankan diri agar hidupnya diridhai (dicintai) oleh Allah. Ditambah pula keyakinan dan kesadaran memahami maksud perintah Allah bagi para kekasih-Nya: utruk nafsaka wa Ana milkun, yang maksudnya tinggalkanlah (untuk belajar dan terus belajar tidak mengingat-ingat dan merasakan) kepentingan dan kebutuhan jiwaragamu (sebab sebenarnya) kebutuhan jiwaragamu itu adalah tanggungan-Ku. Dengan begitu maka pikiran padang, hati terang dengan rasa istiqomah merasakan indahnya mengingat-ingat Diri-Nya Ilaahi (Isi-Nya Huw), semeleh, lapang dada, disertai rezki yang memberkati bagi pancatan yang kokoh pulang kepada Allah, pasti ditambah dan terus ditambah oleh Allah.



Hal di atas terjadi dan dibentuk oleh fadhal dan rahmat Allah karena dijadikan paham sekali terhadap firman Allah: ”Wa man yudlil falan tajida lahu waliyyan mursyida” (QS. Al Kahfi [18]: 17). Yang arti dan maksudnya adalah bagi barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka kamu sama sekali tidak akan dapat mempertemukan baginya waliyyan mursyida.
Waliyyan mursyida adalah Guru mursyid (Wasithah) yang ditugasi meneruskan tugas dan kewajiban Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai rasulullah. Yang dalam sebuah rantai silsilah gilir gumantinya (dengan hak dan sah) hanya satu hingga kini sampai kiyamat nanti.

Oleh karena dijadikan paham dan mengerti oleh Allah, maka apa yang harus dikerjakan ketika sujud syukur setiap bakda shalat, dihayati hingga mendarah mendaging. Sehingga akan terus menerus bangkit dengan tegak niatnya berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya (meniatkan hidup hanya untuk nderek Guru). Belajar dan terus belajarnya tidak akan pernah jemu hingga memperoleh keyakinan yang matang bahwa seberat-beratnya menjalankan dawuh guru masih lebih berat apabila tidak menjalankan. Berdoanya kepada Allah benar-benar sebagai perwujudan ngumawula kepada-Nya, deple-deple kepada-Nya, nelangsa kepada-Nya, karena sangat kuatnya butuh kepada-Nya. Dan inilah yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya: ”man yahdillaahu fahuwa al muhtadi” (QS. Al Kahfi [18]: 17). Bahwa barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah (digelemake nyuwun pituduh ilmunya guru yang saleh [= ilmu Syathariyah = ilmu Nubuwah secara benar, hak dan sah] dan digelemake menjalankan perintahnya), maka dialah yang mendapat hidayah.

Kemudian yang pasti di azab dengan keras oleh Allah adalah mereka yang tidak percaya terhadap penjelasan dimuka. Sebab semua alat (instrumen) yang diberikan Allah seperti jasadnya, akal pikirannya, hatinurani roh dan rasanya habis diperbudak oleh kepentingan nafsu dan watak akunya membentuk watak dan pandangan hidup yang ngalap cukup penemune dewe, nggugu benere dewe, ngendel-ngendelake wicarane dewe. Hidupnya hanya memburu uceng kehilangan deleg. Ibadahnya karena pamrih baik bangsa dunia maupun bangsa akherat. Sama sekali tidak akan pernah disadari bahwa hidup seperti itu sama saja dengan menawar-nawarkan dirinya supaya disesatkan oleh syaitan. Dimurkai dan disesatkan oleh Allah. Sama sekali tidak mempan dengan peringatan keras Allah: ”faman adzlamu minman iftara ’ala Allahi kaziba” (QS. Al Kahfi [18]: 15). Bahwa tidak ada yang lebih zalim dibandingkan dengan orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah.

Pendustaannya terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzatullah (= Al Ghayb) yang dekat sekali di dalam rasa hati. Senantiasa meliputi dan menyertai hamba-Nya. Tempat asal fitrah manusia dan tempat kembalinya, serta pendustaannya terhadap yang hak dan sah menunjuki (sebab Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb lalu menugasi hamba yang mewakili), semua didustakan dengan cara mengada-ada dengan pendapatnya sendiri, mengada-ada dengan benarnya sendiri, mengada-ada dengan bicaranya sendiri yang dikemas dengan penalaran dan berbagai argumentasi hingga mempesona banyak orang yang semuanya disesatkan.

Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Eksitensi Seorang Mursyid


Allah Swt. berfirman:


“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).


Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.


Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.


Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.


Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.


Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.


Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.


Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.


Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.


Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:


“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.


Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:


1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.

2. Memiliki pengetahuan yang benar.

3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.

4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.

5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.


Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:


1. Bodoh terhadap ajaran agama.

2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.

3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.

4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.

5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.


Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:


1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.

2. Mempermainkan thaat kepada Allah.

3. Tamak terhadap sesama makhuk.

4. Kontra terhadap Ahlullah

5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.


Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”


Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.


Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.


Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.


Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:


1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.

2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.

3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.

4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.

5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.


Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.

Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.


Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,

2) Menjaga kehormatan,

3) Bakti yang baik,

4) Melaksanakan prinsip utama; dan

5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.


Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.


Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.


Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.Allah Swt. berfirman:


“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).


Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.


Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.




Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.


Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.


Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.


Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.


Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.


Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.


Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:


“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.


Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:


1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.

2. Memiliki pengetahuan yang benar.

3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.

4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.

5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.


Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:


1. Bodoh terhadap ajaran agama.

2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.

3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.

4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.

5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.


Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:


1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.

2. Mempermainkan thaat kepada Allah.

3. Tamak terhadap sesama makhuk.

4. Kontra terhadap Ahlullah

5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.


Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”


Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.


Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.


Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.


Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:


1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.

2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.

3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.

4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.

5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.


Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.

Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.


Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,

2) Menjaga kehormatan,

3) Bakti yang baik,

4) Melaksanakan prinsip utama; dan

5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.


Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.


Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.


Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.


Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kita Sebagai Murid


Pengantar tulisan mereka yang memperoleh dan yang mengamalkan lailatul al-qadr ini di maksud agar warga jamaah Lil-Muqorrobin secara benar memahami kebenaran ajaran Wasithah. Supaya di terapkan ajaran Wasithah itu dengan benar dan iklas. Supaya tidak terjerumus kepada perbuatan fasik karena masih sangat rentan mudah diperdayaoleh nafsu dan watak akunya.

Sumpah dan janji di hadapan Wasithah adalah semangatnya rasa jiwa hamba yang mencintai Tuhanya. Dan yang memperoleh izin (dari Allah)memahami maksud menerima lailatul al-qadar lalu dengan sungguh sungguh mengamalkan,adalah hamba yang di sucikan Allah.


Karna itu di jelaskan:
1. Beruntung dan berbahagialah orang yang mensucikan dirinya dari kotoran-kotoran penyakit hati. Dan celakalah orang yang measa suci(lau sumuci) karena di perbudak oleh watak nafsu., tergelincir ke lembah gelapnya kenistaan.
2. Belajar dan terus belajar bagaimana mengetrapkan Dawuh Guru(ajaran Wasithah) adalah sebuah keharusan bagi mereka yang benar-benar sadar sebagai murid.
3. Hindari cipta angan-angan yang menjadikan hati nurani,roh,dan rasa terbelengkai dalam kegelapan.
4. Dengan sesama murid(menyiapkan diri menjadi orang yang berkehendak bertemu dengan Tuhan), Bersatu padulah menjadi "Bala Sirrullah"

Siapa sajatidak berusaha dengan sebaik baiknya memenuhi semua ini, di mungkinkan menerimavonis: "sukakulapepisah ing ndalemnurakane". Sama artinya dengan hakekat halal bihalalyang di maksudkan maknanya fitrah dengan fitrah, bersih dengan bersih, kosong (tidak ada sama sekali res-res) dengan kosong, hanya menjadi kemunafikan.




Semoga Kita selalu memperoleh beberan, sawab, dan berkah pangestunya Wasithah. Amin.......


Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Meniup Ruh-Mauludan


Peristiwa lahir dan matinya seseorang adalah peristiwa yang lumrah. Alami. Semua manusia mengalami. Menjadi berbeda dan istimewa (perlakuannya) bila yang dilahir-matikan adalah insan pilihan-Nya.
Demikian halnya ketika (Nabi) Muhammad kecil lahir dari rahim Siti Aminah. Peristiwa kelahirannya biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Juga tidak ada yang memperingati dan merayakan semeriah sekarang.
Tapi, 1438 tahun pasca kelahiran beliau (sekarang), peristiwa tersebut diperingati secara meriah oleh jutaan umat Islam di dunia. Ragam peringatannya pun tak terbilang banyaknya. Di Indonesia, ia diperingati mulai dari tingkat RT, desa, kecamatan, bahkan sampai Istana Negara.
Tujuan pokoknya sama. Mengenang kembali jasa-jasa beliau, cita-citanya, perjuangannya, pengorbanannya, jerih payahnya, tujuan hidupnya, dan apalagi ajaran mulianya. Dengan satu-satunya niatan : agar mendapat syafaat beliau baik di kehidupan dunia sekarang, terlebih di akherat kelak.
Sayangnya, diakui atau tidak, peringatan mulia tersebut ada yang terlupa. “Ruh” mauludan belum mengakar disana. Sehingga, perayaannya terkesan hanya sebagai ritual yang miskin makna. Terlepas dari hakekat dan pesan intinya.

Jauh tak menyentuh permasalahan apakah Tuhan menghendaki peristiwa lahirnya sang utusan tersebut—baik pada Nabi SAW maupun para rasul yang lain—dirayakan umat manusia. Lalu, apakah dibenarkan/disalahkan bila memperingatinya?
Saya yakin Tuhan “tidak” menghendaki adanya perayaan tersebut. Nyatanya, Nabi SAW sendiri tidak mengajarkan untuk memperingati lahirnya para rasul sebelum beliau. Misalnya saja merayakan lahirnya Nabi Isa--yang oleh kaum Kristiani diperingati sebagai hari Natal.
Beliau sendiri nyatanya juga tidak mewasiatkan agar hari kelahiran beliau (12 Rabiul Awal, bertepatan Senin 9 Maret 2009) dirayakan umat Islam. Namun, bila sekarang kejadiannya sedemikian meriah, hemat saya tidak terlalu salah. Asalkan ruhnya mauludan mengada pada tempatnya.
***
Setiap perayaan hari besar dan bersejarah, yang seyogianya ditafakuri secara mendalam, kemudian dipancang kuat dalam hati yang paling dalam adalah menemukan hakekat makna dibalik peristiwanya. Kemudian mencari langkah-langkah konstruktif yang perlu dibangun.
Dalam peristiwa mauludan, pemikiran utama yang hendaknya dilakukan secara mendalam adalah menemukan jawaban mengapa Tuhan “perlu” melahirkan Muhammad SAW menjadi penerus para rasul sebelumnya. Bukankah (mestinya) sudah cukup dengan diturunkannya puluhan rasul terdahulu—lengkap dengan kitab dan ajarannya?
Mencermati masalah yang cukup lembut dan njlimet ini, dalam Al Quran ditemukan sedikitnya empat alasan yang membahas mengapa Tuhan perlu menurunkan rasul-Nya--yang realisasi penurunannya dilakukan secara berkesinambungan.
Pertama, untuk membimbing manusia agar tidak terjebak dalam perbuatan merusak dan menumpahkan darah. Sebab, sesuai firman-Nya, manusia itu “pekerjaannya membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” (QS. 2:30).
Hakekat membuat kerusakan adalah merusak hukum kehidupan yang telah Dia gariskan. Kehidupan dunia adalah ujian untuk bisa pulang kembali kepada-Nya. Hukum ini nyatanya dirusak dengan senang, bangga, susah, kecewa, dst-dsb, bahkan kelewat cinta dunia.
Membuat kerusakan yang lain—disamping membuat kerusakan yang nyata baik di darat, laut, udara, bahkan luar angkasa—adalah merusak kesanggupannya sendiri. Merusak kesanggupan memikul amanah yang telah disanggupi ketika masih di alam arwah. Terbukti dengan tidak butuh mengenali Wujud/Dzat-Nya hingga hakkul-yakin. Tidak mau mengakui, mencari, dan apalagi “berguru” pada rasul-Nya.
Kedua, menjadikan rasul sebagai “juru kunci” yang dapat mengenalkan kembali pada Dzat/Wujud-Nya--yang selanjutnya disembah dan dijadikan tujuan kembali.
”Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu (manusia dan anak keturunannya) tentang Al-Ghaib (Dzat/Wujud-Nya), akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya dari (dengan cara melalui) rasul-Nya...” (QS. 3:179).
Jelasnya, karena Tuhan tidak akan “ngejawantah” (menampakkan Diri) di muka bumi (sebagaimana kisah Nabi Musa meyakini Wujud Tuhan), maka “merasa perlu” mengangkat wakil/khalifah/rasul untuk menunjukkan Jati Diri-Nya.
Ketiga, karena “mereka (manusia umumnya) tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal" (Q.S. 22:74). Padahal, ketika masih di alam arwah (alam fitrah) dulu, arwah semua manusia telah mengenali Dzat-Nya dengan seyakin-yakinnya. Terbukti dengan “gagah perkasa” berani menjawab persaksian dari-Nya: “Alastu Birabbikum”, bukankah AKU ini Tuhanmu? dengan jawaban “Qaalu balaa syahidna”, benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi (QS. 7:72). Oleh karenanya, penurunan rasul-Nya (Muhammad SAW) adalah wujud Maha Belas Kasihnya, yang akan mengenalkan kembali jati diri manusianya dengan Jati Diri Tuhannya.
keempat, mengangkat rasul sebagai “pilot proyek“ (suri teladan/contoh nyata) dalam rangka berjihad untuk bertemu Tuhan kembali. “Pada diri rasul (semua para rasul-Nya) terdapat suri teladan yang baik, bagi yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiyamat” (QS. 33:21, QS. 60:6). Disamping “duta khusus” penyambung “lidah”-Nya.
Implikasinya, “hanya” pada rasul-lah terdapat suri teladan yang baik. Selain rasul, tidak ada jaminan dari-Nya untuk diteladani. Namun, pada mereka semua pasti ada butir-butir “saripati” kebaikan dan kebenaran yang dapat diambil. Tergantung seberapa besar kemampuan menelaah, mencermati, yang kemudian memulungnya.
Walhasil, hikmah yang dapat diambil dari “muludan” adalah bahwa Tuhan akan selalu meng-“update” (memperbarui) rasul-Nya, bila rasul-Nya tiada (meninggal, dibunuh, ataupun murca) dengan rasul berikutnya. Hal demikian menurut Tuhan adalah suatu perkara yang sangat-sangat mudah. Namun menurut manusia adalah perkara yang sangat berat. Sebagaimana kisah penolakan para rasul oleh umat sebelumnya.
Kemudian pemikiran konstruktifnya, inspeksi diri sejauh mana kita mengapresiasi pertanyaan besar-Nya: "Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu (kamu dalam arti nenek moyang, kita semua, anak cucu, semua spesies manusia sampai kiamat). Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. 3:101).
Seberapa besar pula kita telah meneladani sang rasul mulai dari perbuatannya, perkataannya, ilmunya (pemahaman dan keyakinan perihal ketauhidan), amalnya, lahirnya, dan batinnya? Terlebih wening-nya hati nurani roh dan rasa dalam mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya? Wallau a’lam, wa ana makanul khatha’ wa nisyan.

Oleh: Roni Djamaloeddin


Penulis:
Praktisi Ilmu Tauhid Sejati. Guru Matematika dan Ilmu Dedaktik SMA POMOSDA Tanjunganom Nganjuk.


Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

POMOSDA, Pondok Sufi & Gerakan Jamaah Lil-Muqorobien


Tujuan dan cita-cita Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA): berusaha dengan sungguh-sungguh dengan benar dan ikhlas agar dapat menghasilkan sebanyak-banyak orang yang shalih dan shalihah yang luas, tinggi dan mendalam kepahamannya tentang agama Islam, yang cakap dan berkeahlian serta berakhlak mulia, rajin beramal dan berbakti kepada masyarakat berdasarkan taqwa (takut dan tunduk kepada Allah) sehingga menjadi warga masyarakat yang berilmu, terpelajar, beramal dan bertaqwa.

Agar dapat mencapai tujuan dan cita-cita tersebut pelaksanaan pendidikan, pembelajaran dan pelatihan di dalam POMOSDA menggunakan 2 sistem. Yakni sistem sekolah/madrasah dan sistem pondok yang kedua-duanya harus saling mengisi dan melengkapi. Sistem sekolah/madrasah bertujuan untuk mempercepat langkah dan jalan penguasaan pengajaran.

Sistem pondok dimana kyai, ustadz dan ustadzahnya dengan santri dan muridnya, siang dan malam dapat bergaul dengan rapat sehingga merupakan satu keluarga yang perasaan ruhaninya diliputi oleh mahabbah (rasa kecintaan dan kasih sayang) yang akan dapat menimbulkan rasa kekeluargaan yang suci.
Dalam kedua-dua sistem tersebut, sistem pondok yang juga dijalankan di dalam sistem sekolah/madrasah akan memberikan pengaruh dan bekas yang mendalam bagaimana menjalani/melatih diri hidup sederhana, nyegara dan berlapang dada menerima kenyataan memimpin diri sendiri, yakni mengurus, menolong dan memerintah diri sendiri dengan mengindahkan tuntunan pimpinan, mengutamakan beramal untuk kepentingan bersama dengan tidak melupakan hak diri, hemat, hidup praktis, yakni tidak merasa sukar dimana saja, tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga jangan tidak mengetahui hak diri.
Untuk itu juga dipandu oleh beberapa qaidah.
Pertama memberikan bimbingan untuk dapat mencapai jiwa hurriyyah tammah (jiwa yang merdeka sejati). Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar. Ingat bahwa Yadu al ulya min yadi as sufla. Artinya tangan yang di atas itu lebih mulia dari pada tangan yang dibawah. Tegasnya memberi itu lebih mulia daripada meminta.

Karena itu harus menjalankan zelfbedruipings sistem (qaidah berikutnya). Agar dapat terlepas dari ketergantungan kepada lain orang.
Di pondok ini ada 12 unit ketrampilan yang masing-masing dipandu oleh 12 kelompok kerja.
Antara lain memproduksi susu kedelai “marasake” yang mesinnya dibuat sendiri.
Bidang pertanian misalnya, warga jamaah pondok dengan penelitiannya menemukan cara pemupukan (nutrisi) bagi tanaman padi yang setiap bulan bisa panen. Demikian halnya penelitian sumber energi, penelitian gelombang laut dan angin supaya menjadi sumber listrik, dll.

Qaidah berikutnya mengingatkan bahwa bekerja dalam lapangan pendidikan yang suci, paham buruh harus dilempar jauh-jauh.
Dimaksud paham buruh yang harus dilempar jauh-jauh adalah keberhasilan yang menjadikan seseorang lalu diperbudak nafsu dan dunia, agar karunia Allah terlimpah sebanyak-banyaknya, dan agar kita semua lambat laun dapat mencapai pengabdian kepada Allah dengan pengabdian yang sejati murni dan sempurna.
Kerjakanlah hal itu, kebahagiaan dunia dan akherat akan terjamin sepenuhnya.

Karena itu maka pimpinan dan juga semua pendidik yang ditakuti harus dijauhi, sedapat mungkin jangan dijalankan. Sedang pimpinan atau dan juga para pendidik yang dicintai dibiasakan. Ingatlah bahwa pengaruh pendidikan berdasarkan mahabbah itu lebih besar dan lebih berpengaruh serta mendalam daripada pendidikan yang pimpinannya ditakuti. Oleh karena itu maka “rasa kekeluargaan harus diperkokoh dan dipererat”.

Ada qaidah yang kemudian diperdalam di Ponsok Sufi yang melahirkan terbentuknya gerakan Jamaah lil-Muqorrobin. Yakni gerakan tapa ana ing sak tengahing praja dan nyingkrih ana ing sak tengahing masyarakat.

Bunyi qaidah tersebut adalah dengan sabar dan tawakkal kita harus dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.
Maksudnya adalah bagaimana kerja keras kita untuk mengelola garapan dunia yang dicipta Allah tidak batal dan tidak sia-sia untuk kesejahteraan bersama dan kemakmuran bersama diniatkan untuk berbakti (kepada Allah) dan berkorban bagi mendidik dan melatih diri sendiri dan sesamanya harus kita lakukan dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya karena Allah, dijalan Allah, dengan Allah, dari Allah, untuk Allah sehingga saking ikhlasnya sampai tidak merasa.
Sebab rasa hatinya disibukkan untuk senantiasa dapat merasakan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzatullah Yang Al-Ghayb dan Mutlak Wujud-Nya yang sangat dekat sekali serta senantiasa menyertai dan meliputi hamba-Nya sejagad raya.
Kelahiran dan kebatinan orang yang demikian dimana saja dan kapan saja pasti berfaedah bagi lain orang (masyarakat).


Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS